ASAL USUL DAN HUKUM RABU WEKASAN
Dalam kalender Hijriyah dan jawa, hari ini adalah Rabu
terakhir di bulan Safar. Tidak sedikit masyarakat yang malakukan hal-hal yang
tidak biasa sebagaimana hari-hari lainnya. Mulai dari bersedekah, sholat
sunnah, makan-makan, hingga minum air rendaman kertas yang ditulis khusus
dengan huruf Arab (jimat). Semua dilakukan karena berharap perlindungan dari
Allah dan diselamatkan dari malapetaka.
Ketika hari ini saya diundang untuk sebuah acara makan-makan
yang katanya juga dalam rangka Rabu Wekasan kediaman salah satu Tokoh Agama di
tempat saya tinggal, sayapun makin penasaran dengan apa itu tradisi Rabu
Wekasan dan bagaimana pula Islam memandangnya. Rasa penasaran itu terjawab oleh
ulasan yang sempat ditulis oleh sahabat saya, salah satu pakar Ahli Fiqih
lulusan dan tenaga pengajar Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo,
al Ustadz Ahmad Mansur Arif. Atas ijinnya pula saya unggah kembali dari akun
facebook pribadinya.
Asal Usul Rabu Wekasan
Rabu Wekasan (Jawa: Rebo Wekasan) adalah tradisi ritual yang
dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, guna memohon perlindungan
kepada Allah Swt dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari
tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan
masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dll.
Bentuk ritual Rebo Wekasan meliputi empat hal; (1) shalat
tolak bala’; (2) berdoa dengan doa-doa khusus; (3) minum air jimat; dan (4)
selamatan, sedekah, silaturrahin, dan berbuat baik kepada sesama.
Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin
Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li
Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat
ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams”
karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah
As-Sittin, dan sebagainya.
Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang
Waliyullah yang telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit
dimengerti orang lain) mengatakan bahwa dalam setiap tahun pada Rabu terakhir
Bulan Shafar, Allah Swt menurunkan 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam
bala’ dalam satu malam. Oleh karena itu, beliau menyarankan Umat Islam untuk
shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ tsb. Tata-caranya adalah
shalat 4 Rakaat. Setiap rakaat membaca surat al Fatihah dan Surat Al-Kautsar 17
kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Kemudian setelah salam
membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali. Waktunya dilakukan pada pagi
hari (waktu Dhuha).
Pandangan Islam Tentang Rabu Wekasan
Untuk menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut pandang.
Pertama, rekomendasi sebagian ulama sufi (waliyullah)
tersebut didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari
Allah (semacam “inspirasi” bagi masyarakat umum). Menurut mayoritas ulama Ushul
Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum
wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.
Kedua, ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam
rangka menghukumi melainkan hanya informasi dari “alam ghaib”. Jadi, anjuran
beliau-beliau tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum Syariat.
Ketiga, ilham yang diterima seorang wali tidak boleh
diamalkan oleh orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan
al-Qur’an dan Hadits. Jika sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits, maka ilham
tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut
harus ditinggalkan.
Memang ada hadits dla’if yang menerangkan tentang Rabu
terakhir di Bulan Shafar, yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ
نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..
“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw
bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang
terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan
al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’
al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari,
al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Selain dla’if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum
(wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib
wat-tarhib).
Hukum Meyakini Rabu Wekasan
Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar,
sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ.
رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya
malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya
menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan
respon Nabi Saw terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab
menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial
pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini
disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang
mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang
meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian
pada bulan itu.
Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis
thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal.
148).
Hadis ini secara implisit juga menegaskan bahwa Bulan Shafar
sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak memiliki kehendak sendiri. Ia
berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.
Muktamar NU ke-3 juga pernah menjawab tentang hukum
berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada
tiap-tiap bulan. Para Muktamirin mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam
Al-Fatawa al-Haditsiyah sbb: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan
sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus
dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang
Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha
Pencipta. Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat Ali kw. adalah
batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari
semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Hukum Sholat Tolak Bala di Rabu Wekasan
Shalat Rebo Wekasan (sebagaimana anjuran sebagian ulama di
atas), jika niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka hukumnya
tidak boleh, karena Syariat Islam tidak pernah mengenal shalat bernama “Rebo
Wekasan”. Tapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka
hukumnya boleh-boleh saja. Shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang tidak
dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangannya tidak terbatas.
Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita
memiliki keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf’il makhuf (menolak
hal-hal yang dikhawatirkan).
Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus (imam masjidil haram)
dalam kitab Kanzun Najah Was Surur halaman 33 menulis: “Syeikh Zainuddin murid
Imam Ibnu Hajar Al-Makki berkata dalam kitab “Irsyadul Ibad”, demikian juga
para ulama madzhab lain, mengatakan: Termasuk bid’ah tercela yang pelakunya
dianggap berdosa dan penguasa wajib melarang pelakunya, yaitu Shalat Ragha’ib
12 rakaat yang dilaksanakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama
bulan Rajab…….. Kami (Syeikh Abdul Hamid) berpendapat : Sama dengan shalat
tersebut (termasuk bid’ah tercela) yaitu Shalat Bulan Shafar. Seseorang yang
akan shalat pada salah satu waktu tersebut, berniatlah melakukan shalat sunnat
mutlaq secara sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan bilangan, yakni tidak terkait
dengan waktu, sebab, atau hitungan rakaat.”
Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang
juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika
diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar NU
ke-25 di Surabaya (Tanggal 20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang
tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlaq. (Referensi: Tuhfah
al-Muhtaj Juz VII, Hal 317).
Hukum Berdo’a
Berdoa untuk menolak-balak (malapetaka) pada hari Rabu
Wekasan hukumnya boleh, tapi harus diniati berdoa memohon perlindungan dari
malapetaka secara umum (tidak hanya malapetaka Rabu Wekasan saja). Al-Hafidz
Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan: “Meneliti sebab-sebab bencana
seperti melihat perbintangan dan semacamnya merupakan thiyarah yang terlarang.
Karena orang-orang yang meneliti biasanya tidak menyibukkan diri dengan
amal-amal baik sebagai penolak balak, melainkan justru memerintahkan agar tidak
keluar rumah dan tidak bekerja. Padahal itu jelas tidak mencegah terjadinya
keputusan dan ketentuan Allah. Ada lagi yang menyibukkan diri dengan perbuatan
maksiat, padahal itu dapat mendorong terjadinya malapetaka. Syari’at
mengajarkan agar (kita) tidak perlu meneliti melainkan menyibukkan diri dengan
amal-amal yang dapat menolak balak, seperti berdoa, berzikir, bersedekah, dan
bertawakal kepada Allah Swt serta beriman pada qadla’ dan qadar-Nya.” (Ibn
Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).
Hukum Menyebarkan Rabu Wekasan
Hadratus Syeikh KH. M. HasyimAsy’ari pernah menjawab
pertanyaan tentang Rebo Wekasan dan beliau menyatakan bahwa semua itu tidak ada
dasarnya dalam Islam (ghairu masyru’). Umat Islam juga dilarang menyebarkan
atau mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Berikut naskah lengkap dari
beliau:
بسم الله الرحمن الرحيم وبه نستعين على
أمور الدنيا والدين وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
أورا وناع فيتوا أجاء – أجاء لن علاكوني
صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت إع سؤال، كرنا صلاة لورو إيكو ماهو دودو صلاة
مشروعة في الشرع لن أورا أنا أصلي في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن
ذكرها، كيا كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين، التحرير لن سأ فندوكور كيا كتاب
النهاية، المهذب لن إحياء علوم الدين. كابيه ماهو أورا أنا كع نوتور صلاة كع كاسبوت.
ومن المعلوم أنه لو كان لها أصل لبادروا
إلى ذكرها وذكر فضلها، والعادة تحيل أن يكون مثل هذه السنة وتغيب عن هؤلاء وهم أعلم
الدين وقدوة المؤمنين. لن أورا وناع أويه فيتوا أتوا عافيك حكوم ساكا كتاب مجربات لن
كتاب نزهة المجالس. كتراعان سكع كتاب حواشى الأشباه والنظائر للإمام الحمدي قال: ولا
يجوز الإفتاء من الكتب الغير المعتبرة، لن كتراعان سكع كتاب تذكرة الموضوعات للملا
على القاري: لا يجوز نقل الأحاديث النبوية والمسائل الفقهية والتفاسير القرآنية إلا
من الكتب المداولة (المشهورة) لعدم الإعتماد على غيرها من ودع الزنادقة والحاد الملاحدة
بخلاف الكتب المحفوظة انتهى. لن كتراعان سكع كتاب تنقيح الفتوى الحميدية: ولا يحل الإفتاء
من الكتب الغريبة. وقد عرفت أن نقل المجربات الديربية وحاشية الستين لاستحباب هذه الصلاة
المذكورة يخالف كتب الفروع الفقهية فلا يصح ولا يجوز الإفتاء بها. لن ماليه حديث كع
كاسبات وونتن كتاب حاشية الستين فونيكا حديث موضوع. كتراعان سكع كتاب القسطلاني على
البخاري: ويسمى المختلف الموضوع ويحرم روايته مع العلم به مبينا والعمل به مطلقا. انتهى….
…… إلى أن قال: وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِمَا صَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: الصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ، فَمَنْ
شَاءَ فَلْيَسْتَكْثِرْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَقْلِلْ، فَإِنَّ ذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِصَلاَةٍ
مَشْرُوْعَةٍ. سكيرا أورا بيصا تتف كسنتاني صلاة هديه كلوان دليل حديث موضوع، مك أورا
بيصا تتف كسنتاني صلاة ربو وكاسان كلوان داووهي ستعاهي علماء العارفين، مالاه بيصا
حرام، سبب إيكي بيصا تلبس بعبادة فاسدة. والله سبحانه وتعالى أعلم. (هذا جواب الفقير
إليه تعالى محمد هاشم أشعري جومباع).
Kesimpulan
Tradisi Rebo Wekasan memang bukan bagian dari Syariat Islam,
akan tetapi merupakan tradisi yang positif karena (1) menganjurkan shalat dan
doa; (2) menganjurkan banyak bersedekah; (3) menghormati para wali yang
mukasyafah (QS. Yunus : 62). Karena itu, hukum ibadahnya sangat bergantung pada
tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi bila terjadi penyimpangan (baik
dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumya haram.
Bagi yang meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai
aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun. Bagi yang tidak meyakini
tidak perlu mencela atau mencaci-maki.
Mengenai indikasi adanya kesialan pada akhir bulan Shafar,
seperti peristiwa angin topan yang memusnahkan Kaum ‘Aad (QS. Al-Qamar: 18-20),
maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak terjadi terus-menerus. Karena
banyak peristiwa baik yang juga terjadi pada Rabu terakhir Bulan Shafar,
seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan sumber air oleh Sunan
Giri di Gresik, dll.
Kemudian, betapa banyak orang yang selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar, meskipun mereka tidak shalat Rebo Wekasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah yang justru terjadi pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dll (selain Rabu Wekasan) dan juga pada bulan-bulan selain Bulan Shafar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yang tentu saja berkorelasi dengan sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Mengenai cuaca ekstrim yang terjadi di bulan ini (Shafar),
maka itu adalah siklus tahunan. Itu adalah fenomena alam yang bersifat alamiah
(Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan (bukan hanya terjadi
pada Hari Rabu Wekasan saja). Intinya, sebuah hari bernama “Rebo Wekasan” tidak
akan mampu membuat bencana apapun tanpa seizin Allah Swt. Wallahu a’lam.
Sumber : al-Sakhawi. al-Maqāṣid al-Ḥasanah. Beirut: Dar al-Fikr, 2009.
al-Tirmidhi.
Sunan al-Tirmidhi. 2 ed. Beirut: Dār al-Fikr, 2007. al-Ṭabrānī. Mu’jam al-Awsāṭ. 2 ed. Aleppo: Maktabah
Isa al-Bāb al-Halabi, 2011.
al-Sakhawi. al-Maqāṣid al-Ḥasanah. Beirut: Dar al-Fikr, 2009.
al-Tirmidhi.
Sunan al-Tirmidhi. 2 ed. Beirut: Dār al-Fikr, 2007. al-Ṭabrānī. Mu’jam al-Awsāṭ. 2 ed. Aleppo: Maktabah
Isa al-Bāb al-Halabi, 2011.
Penulis : Rizal Ardhani


0 Comments: