BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir
ini Ahmadiyah marak diberitakan di berbagai media. Tuduhan sebagai aliran sesat
datang dari berbagai penjuru. Dengan segala kontroversinya, Ahmadiyah
sesungguhnya telah lama menjadi sorotan dari berbagai organisasi Islam di tanah
air. Salah satu hal pokok yang mengundang protes dimana-mana adalah mengenai
status Mirza Gulam Ahmad yang disinyalir sebagai nabi oleh pengikut Ahmadiyah.
Akhirnya, pada
tahun 1980 MUI mengeluarkan fatwa bahwa
Ahmadiyah adalah sesat, dan ditegaskan lagi pada tahun 2005 bahwa Ahmadiyah
berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, dan orang Islam yang masuk dalam
aliran Ahmadiyah maka tergolong kafir. Namun, sampai saat ini tidak ada solusi
yang tepat dari pemerintah untuk meredakan konflik antara kalangan yang pro dan
kontra Ahmadiyah. Di samping itu, kekerasan dan aksi penganiayaan terhadap
jamaah Ahmadiyah terjadi di mana-mana, sehingga menuai simpati dari berbagai pihak
termasuk beberapa kalangan ulama dan dan cendikiawan Muslim. Oleh karena itu,
pada tahun 2008, pemerintah menerbitkan SKB (surat keputusan bersama) tentang
larangan bagi Ahmadiyah untuk menyebarkan penafsirannya yang bertentangan
dengan Islam, namun lagi-lagi SKB ini tidak memberikan solusi yang nyata bagi
persoalan yang ada.[1]
Untuk itu,
penulis merasa perlu memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai Ahmadiyah
itu sendiri, agar semua pihak, terutama pembaca pada khususnya, dapat memahami
persoalan tersebut secara netral dan tidak memihak, sehingga dapat diperoleh
jalan keluar yang terbaik.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah
Lahirnya Ahmadiyah?
2.
Bagaimanakah riwayat
hidup Mirza Gulam Ahmad sebagai pendiri Ahmadiyah?
3.
Bagaimanakah kondisi
Ahmadiyah setelah meninggalnya Mirza Gulam Ahmad?
4.
Apa sajakah
doktrin-doktrin Ahmadiyah yang dipandang sebagai doktrin yang kontroversial?
5.
Bagaimanakah sejarah
masuknya Ahmadiyah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Aliran Ahmadiyah
Ahmadiyah lahir di India pada
akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat Islam India di bidang agama,
politik, sosial, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya, yang merupakan dampak
dari kemunduran kerajaan Mughal yang berkuasa di India (1526-1858) pada akhir
abad ke-18. Kemunduran kerajaan ini berawal dari faktor internal berupa tidak
adanya pemimipin yang bisa mempertahankan kemajuan kerajaan Mughal setelah masa
pemerintahan Aurangzeb, yang bergelar Alamghir, karena dekadensi moral dan pola
hidup mewah dalam lingkup kerajan Mughal. Kerajaan muslim ini cukup lama
berkuasa di India, namun mayoritas penduduk India tetap beragama Hindu. Pada
masa-masa kemunduran ini, terjadi pula pemberontakan-pemberontakan dari pihak
Hindu dan Sikh yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Mughal. Dalam
beberapa penyerangan yang mereka lakukan, mereka melakukan perampasan dan
pembunuhan penduduk muslim, misalnya saat terjadi penyerangan ke Sirhind.[2]
Di sisi lain,
intervensi Inggris terutama setelah terjadinya revolusi India dengan
pemberontakan munity pada tahun 1875, juga berhasil memberikan pengaruh yang
besar terhadap India. Serangan-serangan Inggris berakhir dengan kemenangan East
India Company, lalu Inggris menjadikan India sebagai salah satu koloni yang
terpenting di Asia. Kondisi ini seakan memberikan kesempatan emas bagi Inggris
untuk menjadikan India sebagai salah satu daerah kristenisasi, terutama seelah
dideklarasikannya misi Kristen setelah terbentuknya British and Foreign Binle
Society yaitu The Great Century of World
Evangelization (Abad Agung Penginjilan Dunia.[3]
Di samping
masalah-masalah tersebut di atas, kondisi umat Islam di India amat menyedihkan.
Umat Islam kebanyakan memiliki pemikiran yang statis, dan cenderung kuat dalam
hal fanatisme kelompok, sehingga persaingan dan pertentangan antar aliran,
mazhab, dan golongan Islam yang mereka anut seringkali terjadi. Ditambah lagi
sikap mereka yang tidak kritis dan membiarkan keyakinan mereka bercampur dengan
ajaran dan tradisi masyarakat Hindu aaupun Budha. Kebanyakan dari mereka juga
tidak mengindahkan perintah dan larangan yang telah dietapkan dalam agama.
Selain itu, pemikiran serta prilaku mereka amat konservatif, misalnya mereka
menentang penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa bukan Arab, seperti bahasa Urdu
atau bahasa Persia, padahal itu akan mempermudah masyarakat awam untuk memahami
al-Quran.[4]
Dan saat Inggris menjajah India, kondisi umat Islam semakin terisolasi.
Pada
pertengahan abad ke-18, muncul seorang ulama terkenal, yaiu Syekh Waliyullah,
yang memotori umat Islam untuk menyadari dan mencari solusi keterbelakangannya.
[5]
Usaha ini
diteruskan oleh pengikutnya, termasuk Syekh Ahmad Khan yang mendirikan gerakan
Aligarh. Ia meminta agar kaum muslimin menempuh jalan damai untuk mengembangkan
ajaran agamanya. Gerakan yang ia bangun, yakni Aligarh semakin besar.
Kesediaannya bekerja sama, membuat Inggris memberikan ruang gerak yang lebih
besar bagi Syekh Ahmad. Di tahun-tahun berikutnya Aligarh mempunyai pusat
pendidikan yang menghasilkan pujangga-pujangga besar dari India. Menurut
Muhammad Iqbal, Syekh Ahmad Khan adalah orang yang pertama kali merasakan
perlunya pembaharuan pemikiran Islam, dan beliau pulalah yang
merealisasikannya.[6]
Dalam waktu
yang hampir bersamaan, muncul seorang pembaharu bernama Mirza Gulam Ahmad, yang dianggap memiliki aliran
yang sama dengan Syekh Ahmad Khan, bahkan ada yang mempersamakannya. Namun,
menurut beberapa pengamat, Ahmadiyah lahir sebagai reaksi atas munculnya
gerakan Aligarh. Prof. H. A. R. Gibb bahkan menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah
perpaduan antara beberapa aliran menjadi satu aliran baru dengan tujuan
pembaharuan.[7]
Ahmadiyah
merupakan gerakan pembaruan yang bersifat liberal dan cinta damai dengan maksud
menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam
dengan pemahaman yang lama. Mirza Gulam Ahmad sebagai pendirinya menyatakan
bahwa dirinya adalah al-Mahdi bagi umat Islam dan al-Masih bagi umat Kristen,
tetapi juga sebagai avatar (inkarnasi) Krishna. Hal inilah yang memicu
terjadinya reaksi yang keras dari umat Islam.[8]
Mengenai tahun
berdirinya Ahmadiyah, terdapata dua versi. Versi pertama adalah tahun 1888,
yang diakui oleh Ahmadiyah Lahore, yang didasarkan pada tahun ketika Mirza
Gulam Ahmad menerima ilham untuk menerima baiat dari pengikutnya. Versi yang
kedua adalah tahun 1889, yang diakui oleh Ahmadiyah Qadian, yang didasarkan
pada tahun pembaiatan itu terjadi.[9]
B.
Riwayat Hidup Mirza Gulam
Ahmad
Ia merupakan keturunan
Haji Barlas, raja kawasan Kesh. Ketika musuh menyerang Kesh, Haji Barlas
melarikan diri bersama keluarganya ke Khurasan dan Samarkand. Pada abad ke-16
salah seorang keturunannya yang bernama Mirza Hadi Baig, pindah ke daerah
Hindustan dan mendirikan sebuah kampung yang bernama Islampur, yang kemudian
disebut dengan Qadi atau Qadian. Karena saat itu ia menjabat sebagai Qadi
(hakim atau jaksa) di islampur. Mirza Hadi Baig ini masih merupakan keturunan
dinasti Mughal. Ketika Mughal berkuasa, kehidupan keluarga ini amat sejahtera.
Namun ketika pemerintahan Sikh berkuasa, mereka terusir dari Qadian dan hidup
miskin dan menderita. Dan baru pada tahun 1818, keluarga Gulam Ahmad kembali ke
Qadian.
Mirza Gulam
Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835 atau !4 Syawwal 1250 di desa Qadian,
kurang lebih 57 kilometer sebelah timur kota Lahore, dan 24 kilometer dari kota
Amritsar di Propinsi Punjab, India. Ayahnya bernama Mirza Gulam Murtaza dan
ibunya Ciraagh Bibi.[10]
Keluarga Mirza
Gulam Ahmad ini pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris,
terbukti pada tahun 1857 ketika Gulam Murtaza mengirimkan banyak orang termasuk
kakak Gulam Ahmad, yaitu Gulam Qadir untuk untuk ikut dalam tentara Jenderal
Nicholson di Trimughat ketika menghancurkan para pemberontak yang melarikan
diri dari Sialkot. Atas jasanya ini, ia mendapatkan penghargaan dari Jenderal
Nicholson.
Dalam
perjalanan hidupnya, Gulam Ahmad mendapatkan pendidikan dasar di kampungnya
sendiri. Ia belajar banyak hal, seperti belajar al-Quran dan beberapa kitab
Persi dari Fazal Ilahi pada tahun 1841. Setelah umur 10 tahun, dia belajar
nahwu saraf dari Fazal Ahmad. Pada umur 17 tahun dia belajar ilmu nahwu dan
mantiq dari Gul Ali Shah dari Batala. Dan ia juga belajar ilmu tabib langsung
dari ayahnya yang memang merupakan seorang tabib. Setelah berumur 29 tahun dia
menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di kantor Bupati Sialkot dan hanya
bertahan sampai 4 tahun. Lalu pulang ke Qadian. Di sana sebagian besar waktunya
dihabiskan dengan mempelajari al-Quran.
Selama 6 bulan
dia bermujahadah atau melakukan perenungan dan shalat tahajjud di tengah malam
untuk mencari jawaban atas problematika umat Islam. selain itu ia hidup amat
sederhana, serta rajin berderma, ia juga sangat rajin berpuasa.
Ia tidak memiliki ketertarikan pada hal-hal
duniawi. Dia lebih banyak membaca, sehingga kemampuannya dalam berdiskusi mampu
menarik minat beberapa orang, termasuk misionaris-misionaris Kristen yang
gencar menyebarkan agamanya. Dia banyak belajar tentang Islam, demikian pula
tentang ajaran Hindu dan Kristen, sehingga dia banyak menulis artikel untuk
menentang kepercayaan dan pemimpin Hindu, begitu pula terhadap Kristen.
Akhirnya pada tahun 1880 ia menyusun buku Barahiyn Ahmadiyah yang berisi kebenaran Islam. Bagian pertama
buku ini dicetak pada tahun 1880, bagian kedua pada tahun 1881, bagian ketiga
pada tahun 1882, dan bagian keempat pada tahun 1884. Buku ini mengundang
keinginan tokoh-tokoh agama lain untuk berdialog denga Mirza Gulam Ahmad, dan
membuat umat Islam bersuka cita. Pada saat itu, ia belum mengaku sebagai
mujaddid, meskipun banyak orang menyebutnya mujaddid. Selanjutnya pada tahun
1888, ia mengaku menerima ilham memerintahkannya dua hal, yaitu hendaknya ia
menerima baiat dari pengikutnya, dan membentuk sebuah wadah untuk menyatukannya
serta untuk mendukung penyebaran Islam. Namun hal ini baru dilakukan pada tahun
1889 di kota Ludhiana, rumah Mia Ahmad Jaan, yang dibaiat sekitar 40 orang. Ada
sepuluh syarat baiat untuk masuk ke dalam jemaah tersebut tanpa satupun syarat
yang menyalahi syariat Islam. Dan pada tahun 1891 ia mengaku mendapat wahyu dan
ia mengaku bahwa dirinya adalah al-Masih yang dijanjikan sekaligus al-Mahdi.
Dan akhirnya ia wafat pada tahun 1908, karena sakit.
C. Ahmadiyah Setelah Meninggalnya Mirza Gulam Ahmad
Sebelum meninggal,
tepatnya pada Desember 1905, Mirza Gulam Ahmad menulis buku berjudul
al-Was}iyyat yang berisi pemberitahuan bahwa dirinya tak lama lagi akan
meninggal dan nasihat agar warga Ahmadiyah tetap tentram dan bersabar hati.
Kemudian pada tahun berikutnya, tepatnya Desember 1906, didirikan sebuah
lembaga dengan nam Sadr Anjuman Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, yang
bertugas mengurusi sekolah-sekolah, majalah Review of Religion, Bahesyti Maqbarah atau badan urusan
wasiat, dan lain-lainnya.
Saat Mirza
Gulam Ahmad masih hidup, umat Ahmadiyah amat bersatu, dan kondisi tersebut
terus terjaga hingga menjelang kematian
Khalifah I, yakni Maulwi Nuruddin, yang merupakan pengganti Mirza Gulam Ahmad.
Saat itu Ahmadiyah sudah tersebar luas, namun bibit perpecahan mulai timbul
dalam tubuh Ahmadiyah yang akhirnya menyebabkan Ahmadiyah terpecah menjadi dua,
yaitu Ahmadiyah Qadian yang dipimpin oleh Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
sebagai khalifah II, dan Ahmadiyah Lahore yang dipimpin oleh Maulana Muhammad
Ali.
Perpecahan
yang terjadi di antara mereka dipicu oleh perbedaan pendapat mengenai tiga hal,
yakni masalah khalifah (pengganti pimpinan), iman kepada Mirza Gulam Ahmad, dan
kenabian.
Golongan
Ahmadiyah Qadian mengakui dan mendukung keberadaan organisi khilafat dengan
alasan menuruti ajaran Islam dan wasiat Mirza Gulam Ahmad bahwa dalam jama’at
harus ada khalifah yang ditaati oleh jama’at. Selain itu, mereka mengakui dan
meyakini bahwa beriman kepada Mirza Gulam Ahmad adalah suatu kewajiban, maka
barangsiapa mengingkarinya di adalah kafir, Mereka juga meyakini bahwa Mirza
Gulam Ahmad itu betul-betul nabi, dan pintu kenabian tetap terbuka sesudah
Rasulullah saw, yang didasarkan pada perkataan Mirza Gulam Ahmad dalam bukunya
Eik Ghalti Ka Izalah, yakni:
“Kapan dan
dimanapun aku telah mengingkari panggilan nabi atau rasul maka maknanya tidak
lain hanya bahw aku bukanlah nabi atau rasul yang mustaqil, membawa syariat
baru, dan menjadi nabi yang berdiri sendiri, melainkan aku menerima
karunia-karunia dari keruhanian Rasulullah saw., karena aku menaati beliau
serta dianugerahi nama dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, aku menerima
ilmu-ilmu gaib dari Allah swt. Dengan demikian, aku adalah rasul dan nabi,
namun tidak membawa syariat baru. Nabi dengan arti semacam ini tidak pernah aku
ingkari. Justru dengan makna inilah Allah selalu memanggilku nabi dan rasul.”[11]
Adapun
Ahmadiyah Lahore mengatakan bahwa organisasi khilafat tidak perlu, cukup dengan
anjuman saja. Untuk menghormati wasiat khalifah I, bolehlah ditetapkan sebagai
Amir, namun tidak mutlak ditaati jema’at atau Sadr Anjuman Ahmadiyah, dan
memiliki batas waktu menjabat dan syarat-syarat tertentu. Selain itu, mereka
berpendapat bahwa beriman kepada Mirza Gulam Ahmad merupakan hal yang baik,
namun bukan merupakan kewajiban, maka barangsiapa yang tidak beriman kepadanya
maka ia tidak serta merta disebut kafir. Orang baru bisa dikatakan kafir ketika
orang tersebut mengingkari Rasulullah saw. Mereka juga meyakini bahwa Mirza
Gulam Ahmad bukan sebagi nabi, namun hanya sebagai mujaddid, selain juga
sebagai al-Masih dan al-Mahdi, dan yang menjadi dasarnya adalah perkataan Mirza
Gulam Ahmad dalam bukunya yang berjudul Izalah Auham dan Majmu’ah Isytiharat,
yaitu:
“Ketahuilah
wahai saudaraku kaum muslimin bahwa kata-kata semacam itu seringkali termuat
dalam tulisan-tulisan saya, yaitu bahwa muhaddats dalam satu segi berarti nabi. Maksud
kata-kata itu tidak dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam arti yang lebih
luas lagi. Oleh karena itu, saya tidak ragu sedikit pun untuk memberikan makna
lain untuk menentramkan saudaraku umat Islam semuanya. (Yakni) apabila dalam tulisan-tulisanku
digunakan perkataan nabi, hendakalah itu diartikan muhaddats dan anggaplah perlataan
nabi tidak ada lagi.”[12]
Kelompok ini menentang pendapat Ahmadiyah Qadiani yang
menganggap Mirza Gulam Ahmad pernah mengaku sebagai nabi. Menurut mereka, pengakuan
Mirza Gulam Ahmad hanya sebatas seorang muhaddast atau mujaddid dan didasarkan
atas perintah Ilahi. Jika ini disebut kenabian dalam arti kiasan atau disebut
nabi juz’i, maka bukan berarti pengakuan sebagai nabi.
Perpecahan ini
menunjukkan sebuah titik terang bahwa sebenarnya pengikut Mirzalah yang amat
agresif dalam menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang kontroversi dengan ajaran Islam
yang telah diyakini kebenarannya sejak lama. Awalnya Ahmadiyah lahir sebagai
sebuah solusi terhadap problematika umat, namun setelah Mirza Gulam Ahmad dan
khalifah I yang menggantikannya meninggal dunia, mulai terjadi
penyelewengan-penyelewengan dalam tubuh Ahmadiyah itu sendiri. Hal ini menjadi
penting untuk kita ketahui bersama, bahwa Ahmadiyah sulit untuk dicegah untuk beredar,
karena sebenarnya masih ada golongan Ahmadiyah yang tetap memiliki pemahaman
seperti yang dimiliki oleh umat Islam. meskipun kebanyakan orang menyamakan
antara Ahmadiyah Qadiani dan Ahmadiyah Lahore yang sebenarnya amat bertentangan
dalam beberapa hal yang sangat prinsipil.
D. Doktrin-Doktrin Ahmadiyah
Di kalangan Ahmadiyah, ada beberapa doktrin yang perlu dikaji agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman tentangnya, antara lain sebagai berikut.
1.
Masalah al-Mahdi dan
al-Masih
Doktrin ini merupakan ajaran pokok Ahmadiyah. Di kalangan Ahmadiyah Lahore
maupun Qadian meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah al-Mahdi seklaigus
al-Masih yang dijanjikan. Menurut Ahmadiyah, al-Mahdi tidak dapat dipisahkan
dengan al-Masih, karena keduanya merupakan satu tokoh, satu kepribadian, yang
kedatangannya telah dijanjikan Tuhan. Ia ditugaskan untuk membunuh Dajjal dan
mematahkan tiang salib, yakni mematahkan argumen-argumen agama nasrani dengan
dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan serta menunjukkan kepada para
pemeluknya tentang kebenaran Islam, dan menegakkan kembali syariat nabi
Muhammad saw. yang telah mengalami kemerosotan.
Dasar yang mereka gunakan adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Bagaimanakah
sikap kamu sekalian apabila Ibnu Maryam datang (bersamamu) sedangkan imammu
berasal dari kalanganmu?
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “ Tidaklah urusan
bertambah kecuali kesulitan; dunia tidak bertambah kecuali kemunduran, tidaklah
bertambah manusia kecuali cucuran air mata; tidaklah tiba hari kiamat kecuali
atas orang-orang yang jahat; dan tiada seorangpun sebagai al-Mahdi kecuali Isa
bin Maryam.[13]
Berdasarkan hadis yang pertama, seluruh umat Islam meyakini bahwa Isa Ibnu
Maryam akan datang kembali. Akan tetapi, paham mereka berbeda-beda, ada yang
memahami secara harfiah, dan ada pula yang memahaminya secara kiasi. Pada
umumnya kaum muslimin berpendapat bahwa al-Masih yang dijanjikan adalah Isa ibn
Maryam yang diutus kepada bani Israil, dan sekarang ini ia dianggap masih hidup
di langit. Dia akan turun ke dunia dibantu oleh imam Mahdi, keduanya akan
berperang melawan orang-orang non-muslim dan tak akan berhenti sebelum mereka
semua memeluk agama Islam. sesudah itu didirikan kerjaan Islam di dunia. Adapun
golongan Ahmadiyah memahaminya secara kiasi, mereka berpendapat bahwa al-Masih
telah wafat secara wajar dalam usia lanjut dan tidak akan bangkit lagi sebelum
hari kiamat datang. Mereka memahami hal tersebut dari QS. al-Ma'idah/5:117 dan
QS. al-Nisa'/4: 157-158 tentang Nabi Isa as. yang meninggal secara wajar
مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا
أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ
شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ
عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Terjemahnya:
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau
perintahkan padaku (yaitu), “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, dan aku
menjadi saksi terhadap mereka, selama aku,
berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah engkau mengangkatku ke
langit, Engkaulah yang mengawasi mereka. Engkaulah yang Maha Menyaksikan segala
sesuatu. (QS. al-Ma'idah/5: 117)[14]
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا
قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ
وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ
لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا
قَتَلُوهُ يَقِينًا (157) بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ
إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا (158)
Terjemahnya:
Dan (kami hukum juga) karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah
membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, rasul Allah padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak pula menyalibnya,
tetapi yang mereka bunuh adalah orang yang diserupakan dengan Isa, sesungguhnya
mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa itu, mereka
benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya dibunuh itu), melainkan mengikuti
persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya. Tetapi Allah
telah mengangkat Isa kehadirat-Nya, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS.
al-Nisa'/4: 157-158)[15]
Terjemahan yang tertera di atas adalah
terjemahan yang disusun oleh Departemen Agama RI. Namun, ada perbedaan
penafsiran dari golongan Ahmadiyah. Mereka berpendapat bahwa kata syubbiha
lahum tidak bisa diartikan sebagai orang yang diserupakan dengan Nabi Isa as.,
mereka menafsirkannya dengan ditampakkan bagi mereka seperti demikian, yakni
seolah-olah Nabi Isa as. telah meninggal di tiang salib. Padahal sesungguhnya
Nabi Isa as. meninggal secara wajar. Begitu pula dengan kata rafa’a pada ayat
158, mereka menafsirkannya dengan memuliakan derajatnya, bukan mengangkatnya. [16]
Dan mereka memahami kata imamukun minkum pada
hadis tersebut di atas bahwa al-Mahdi adalah berasal dari umat Islam itu
sendiri, dan dikaitkan dengan hadis kedua yang menyatakan bahwa al-Mahdi adalah
Isa as., maka mereka memahami al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, yang
kemudian dipahami secara kiasan, bahwa al-Masih sekaligus al-Mahdi yang
dijanjikan, bukanlah Nabi Isa yang diutus kepada bani Israil, melainkan salah
seorang umat Muhammad yang mempunyai persamaan dengan Isa al-Masih, dialah
Mirza Gulam Ahmad. Lebih lanjut Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa jika Nabi Isa benar-benar
akan datang atau dibangkitkan kembali, maka itu berarti membongkar segel
penutup kenabian, yang bertentangan dengan Aqidah Islam. [17]
Menurut Ibnu Hajar al-As\qalani, bahwa
hadis-hadis yang mereka gunakan yang berbicara tentang al-Mahdi dan al-Masih
adalah bertentangan dengan semua hadis shahih yang berbicara tentang hal
tersebut. Dan para ahli fiqhi ,mufassir, serta muhaddis menyatakan bahwa Isa
ibnu Maryam akan datang bukan sebagai nabi, tetapi sebagai umat Muhammad,
sehingga tidak akan membongkar segel kenabian.[18]
2.
Masalah Kenabian
Terkait dengan masalah kenabiaan, dikalangan
ahmadiyah terdapat perbedaan pandangan antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore.
Begitu pun dengan Ahmadiyah dengan kaum muslim pada umumnya. Ahmadiyah Qadian
memunculkan tiga klasifikasi terkait masalah kenabiaan:
a)
Nabi shahib asy-Syariah
dan mustaqil. shahib asy-Syariah adalah
Nabi pembawa syariat (hukum-hukum) untuk manusia. sementara Nabi Mustaqil
adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti
Nabi Musa a.s,beliau menjdi nabi bukan atas dasar menjadi mengikuti nabi atau
syariat sebelumnya. Ia langsung menjadi nabi dan pembawa taurat. Begitu pula
NabiMuhammad Saw. nabi semacam ini dapat juga disebut sebagai Nabi
Tasyri’I dan mustaqil sekaligus.
b)
Nabi Mustaqil Ghair
at-Tasyri’I yakni hamba tuhan yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi
sebelumnya, hanya saja ia tidak membawa syariat baru. Dalam arti bahwa ia
ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syariat yag dibawah oleh nabi
sebelumnya. Pada Nabi yang tergolong atau masuk kedalam Nabi Mustaqil Ghair
at-Tasyri’I, adalah Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakariyah, Yahya, dan Nabi Isa
a.s. semuanya menjadi nabi secara langsung (Mustaqil), tidak karena hasil
mengikuti para nabi sebelumnya. Mereka secara langsung diangkat oleh Allah
menjadi Nabi dan ditugaskan menjalankan syariat Nabi Musaa.s. yang ada dalm
kitab taurat.
c)
Nabi Zhilli Ghair
at-Tasyri’i, yakni hamba tuhan yang mendapatkan anugra dari Allah menjadi nabi
semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena hasil
kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena mengikuti syari’atnya. Karena
itu, tingkatan berada dibawah kenabiaan sebelumnya dan ia juga tidak membawa
syariat baru. Hamba tuhan yang masuk kedalam golongan nabi Zhilli Ghair at-Tasyri’i adalah Mirza Ghulam
Ahmad yang mengikuti syariat Nabi Muhammad.[19]
3.
Adapun Ahmadiyah Lahore,
ia membuat klasifiksi kenabiaan:
a.
Nabi Haqiqi, yaitu nabi
yag membawa syariat.
b.
Nabi Lughawi yang disebut
sebagai “ nabi yag tidak haqiqi”. Dia adalah seorang manusia biasa, namun ia
menjadi persamaan cukup besar dengan para Nabi, yakni ia menerima wahyu. Hanya
saja, wahyu yang ia terima tidak bersifat tasyri’i meskipun mengandung
pengetahuan dan pegajaran tentag hal yang ghaib.
Dalam kaitannya dengan nabi lughawi tersebut
menurut tokoh Ahmadiyah Qadian Indonesia, Ahmadiyah Qadian lebih suka
menggunakan istilah nabi zilli atau buruzi yang berarti nabi Bayangan. Nabi ini
menjadi bayangan dari nabi sebelumnya karena ia tunduk, mengikuti dan mencontoh
sifat-sifat dan perintah-perintah nabi sebelumnya. Oleh karena begitu taat dan
patuh terhadap nabi haqiqi, maka pada akhirnya ia menjadi bayangan atau cermin
dari nabi yang diikut. Nabi zhilli atau buruzi ini diangkat oleh tuhan. Selain
menyabut dengan istiklah nabi zhilli atau buruzi, mereka meyebutnya dengan nabi
ummati, nabi majazi, dan nabi kiasi.[20]
Jadi mengenai status kenabian Mirza ghulam
Ahmad dimata pengikutnya terdapat perbedaan pandangan yang mendasar antara
Lahore dan Qadian. Golongan Lahore sekalipun
secara implisit memandangnya sebagai nabi lughawi atau majazi, akan
tetapi mereka menolak paham golongan Qadiani secara tegas. Mereka memandang
Mirza gulam Ahmad bukanlah nabi, melainkan seorang Mujaddid abad ke-14 h. ia mempunyai banyak persamaan
dengan dengan nabi dalam hal ia menerima wahyu
atau berita samawi(langit). Selanjutnya , mereka juga berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya wahyu walauah
atau wahyu kewaliaan. Menurut pandangan Ahmadiyah Lahore, wahyu semacam inilah
yang tetap terbuka agar dengan wahyu tersebut, iman umat manusia tetap hidup
dan segar.[21]
Berbeda dengan paaham kenabiaan Ahmadiyah
Lahore, Ahmadiyah Qadian memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul
yang wajib diyakini dan dipatuhi
perintahnya. Sebagaimana nabi dan rasul yang lain.
Mengenai pandangan ahmadiyah tentang khatam
an-Nabiyyin juga terdapat perbedaan yang perbedaan yang mendasari antara
golongan Lahore dan golongan Qadian. Golongan Lahore keyakinan bahwa Nabi
Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir. Sesudah beliau tidak akan dating nabi
lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Mereka menggunakan dasar
“
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara
kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.[22]
Penggunaan istilah nabi lughawi atau majazi sebagaimana
yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, apabila dikaitkan dengan Mirza
Ghulam ahmad, golongan Lahore memberikan pengertian bahwa dia bukanlah seorang
nabi, tetapi ia mempunyai persamaan cukup besar dengan nabi karena menerima
wahyu, meskipun wahyu yang diterimanya
tidak tasyri’I dan mengandung pemberitahuan atau pengajaran tenag hal yang
ghaib.[23]
Dalam hal ini. Mirza Ghulam Ahmad lebih tepat
disebut Muhaddats, yaitu orang yang banyak menerima firman ilahi. Oleh karena
firman Ilahi (wahyu) merupakan sebagian kenikmatan yang dianugrahkan kepada
nabi maka para Muhadats secara majasi atau kiasan disebut nabi majazi. Mengenai
penggunaan istilah Muhaddats, golongan ini mendasarkan pada pengakuan Mirza
Ghulam Ahmad sendiri:
Bukan pendakwahan kenabiaan, melainkan
pendakwahan Muhaddatsiyat yang telah
dilakukan atas perintah Allah Taala….. hal itu dinyatakan suatu kenabiaan
majazi atau ditetapkan suatu bagian yang kokoh dari kenabiaan. Apakah hal itu
sebagai suatu pendakwahan kenabiaan .[24]
Atas dasar pengakuan Mirza Ghulam Ahmad
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ia tidak pernah mengaku menjadi nabi.
Pegakuaannya hanya sebagai muhaddats
yang didasarkan atas perintah tuhan. Pengkuan yang disebut kenabiaan dalam artian
kiasan atau disebut nabi majazi tersebut
tidak berarti pengakuaan sebagai nabi.
Disamping itu tulisannya yanglain, mirzaghulam
Ahmad juga menelaskan sebagai berikut
“
ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin bahwa kata-kata yang semacam itu yang
seringkali termuat dalam tulisan saya, bahwa muhaddats dalam satu segi berarti
nabi. Kata-kata ini saya tidak maksudkan dalam arti yang sebenarnnya, tetapi
digunakan dalam arti yang lebih luas. Oleh karena itu, saya tidak ragu sedikitpun untuk memberkan makna
yang lain untuk menentramkan saudaraku umat islam seluruhnya, yakni apabila
dalam tulisan –tulisanku digunakan perkataan nabi, hendaklah itu diartikan
sbagai muhaddats dan anggaplah perkataan nabi tidak ada lagi.[25]
Golongan Qadian memilikipemahaman yang berbeda
terkait dengan ungkapan khatam
an-nabiyyin. Menurut paham kaun Qadian,
berita akan datangnya kembali nabi Isa a.s. sebagai mana disebutkan oleh
hadis-hadis yag shahih.[26]
Semua uraian sebenarnya merupakan penjelasan
dari apa yang menjadi keyakinan Mirza Ghulam Ahmad sendiri tentang khatam
an-nabiyyin. Ia menyatakan :
1)
Dengan sungguh-sunggu
saya percaya bahwa nabi Muhammad saw., adalah khatam al- anbiya. Seorang yang
tidak percaya pada khatam al-anbiya beliau (Rasulullah saw) maka dia adalah
orang yang tidak beriman dan berada diluar lingkungan islam.
2)
Inti dari kepercayaan
saya adalah: la Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah.[27]
Sebenarnya masih banyak tulisan-tulisan Mirza Ghulam
Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai manusia pilihan adalah
benar-benar khatam an-nabiyyin. Ini
menjadi kesepakatan semua umat islam. Namun mngenai makna dan pengertian serta
penafsiran terhadap kata tersebut, terdapat perbedaan yang mendasar. termasuk
ahmadiyah yang aliran Lahore. Ahmadiyah
Qadian memandang rasulullah sebagai khatam an-nabiyyin dengan kedudukan
yang luhur dan utama daam segala hal.[28]
E. Sejarah Munculnya Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah mulai dikenal
sejak tahun 1918 melalui majalah Islamic Review edisi Melayu yang terbit di
Singapura. Akan tetapi Ahmadiyah baru diperkenalkan secara langsung oleh
tokohnya sendiri pada tahun 1920. Tokoh tersebut bernama Prof. Maulana H.
Kwadja Kamaluddin, seorang tokoh Ahmadiyah Lahore sekaligus seorang Ahmadi yang
membawa misi Islam di London dan Eropa, serta redaktur surat kabar Islam
Review yang menerbitkan artikel-artikel
tentang agama Islam dan juga merupakan Imam Masjid Woking, Surrey, London . Ia
datang ke Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1920 untuk berobat sekaligus
melihat keadaan di Surabaya.
Pada tahun
1924, Ahmadiyah Lahore mulai dikenal di Yogyakarta, dikarenakan kedatangan dua
orang muballig Ahmadiyah langsung dari Hindustan, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza
Wali Ahmad Baig secara tiba-tiba dan tidak jelas siapa yang mengundang
keduanya. Menurut Muhammadiyah, Wali Ahmad Baig mengungkapkan bahwa sebenarnya
ia ingin ke Manila, namun karena tidak ada biaya hidup yang cukup, terpaksa ia
tinggal di Indonesia. Namun sumber lain mengungkapkan bahwa keduanya sebenarnya
berniat ke Cina dan hanya singgah di Indonesia. Tetapi setelah mendengar berita
mengenai penyiaran agama Kristen di Jawa yang sangat kuat dan sukses, baik
ketika mereka berada di Singapura maupun di Jawa, mereka membatalkan niatnya
untuk ke Cina dan tetap tinggal di Jawa, dan mereka melaporkan perubahan
rencana ini kepada Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore (Shadr Anjuman
Isy’ati Islam) di India, serta meminta agar dikirimkan muballig lain ke Cina.
Kedatangan
mereka awalnya disambut baik dan dibantu oleh organisasi Muhammadiyah. Hal ini
terbukti dengan tinggalnya Wali Ahmad Baig di rumah Haji Hilal di Kauman,
tempat kelahiran Muhammadiyah dan pusat aktivitas Islam di Yogyakarta. Selain
itu, Pengurus Besar Muhammadiyah sendiri juga menyambut mereka dalam kongresnya
yang diadakan pada tahun 1924. Pada kongres tersebut Maulana Ahmad memperoleh
kehormatan memberikan sambutan dalam bahasa Arab, sementara wali Ahmad Baig
memberi sambutan dalam bahasa Inggris, karena kurang fasih berbahasa Arab.
Materi
sambutan yang disampaikan oleh Wali Ahmad baig antara lain, perkenalan dirinya
sebagai utusan Ahmadiyah dari Lahore yang merasa berkewajiban mengenalkan
tentang Ahmadiyah di Lahore dan di dunia. Ada dua tujuan Ahmadiyah yang
disampaikannya, yaitu pertama, mengumpulkan orang-orang Islam di dunia di bawah
satu bendera Islam, yaitu Islam sejati. Kedua, menyiarkan agama Islam sebagai
agama yang cocok dengan kejadian manusia di seluruh dunia, olehnya itu
Ahmadiyah melakukan tablig di seluruh dunia. Ia juga menginformasikan tentang
kegiatan mubalig Ahmadiyah di luar Hindustan, seperti di Inggris misalnya, di
sana telah dikirim seorang mubalig yang berama Kwadja Kamaluddin untuk
berdakwah, dan dalam kurun waktu tujuh tahun, sekitar 2000 orang masuk Islam di
Inggris. Adapun materi yang disampaikan oleh Maulana Ahmad berkisar tentang
dogma-dogma Kristen, khususnya komentar tentang Ketuhanan dan Yesus seorang
anak Tuhan. Ia juga menjelaskan bahwa ada dua prinsip dalam dakwahnya. Pertama,
mendorong agama Islam. Kedua, menjauhi aktivitas politik.[29]
Lalu pada
tahun 1925, juga dalam kongres Muhammadiyah, Mirza Wali Ahmad Baig kemabali
diberikan kesempatan memberikan sambutan di antara beberapa sambutan yang ada.
Pada saat itu Maulana Muhammad telah kembali ke India lebih awal karena sakit.
Sosok Wali
Ahmad Baig ternyata memiliki daya tarik tersendiri di mata sebagian tokoh
Muhammadiyah, terutama tokoh intelektual muda. Ia dianggap sebagai tokoh yang
mampu dijadikan figur panutan untuk mengadukan berbagai permasalahan atau
mendapatkan siraman ilmu. Salah satu daya tarik terbesar Wali Ahmad Baig adalah
kemampuan bahasa Inggris yang dimilikinya.
Berita-berita
menarik tentang Ahmadiyah seringkali diterbitkan dalam jurnal K. H. Fachruddin,
yaitu Bintang Islam, bahkan al-Manak
Muhammadiyah tahun 1926 juga berisi artikel-artikel menarik tentang Ahmadiyah.
Lebih lanjut, periode ini Taman Pustaka, terbitan resmi Muhammadiyah, telah
menerbitkan karya-karya Ahmadiyah.
Pada tanggal 7
Juni 1924, penasihat Urusan Pribumi, R. Kern, melaporkan kepada gubenur
Jenderal Hindia Belanda bahwa ada empat orang pemuda Jawa dari Semarang yang
pergi ke Calcutta menuju Lahore untuk studi di sekolah Ahmadiyah Lahore, di
antaranya adalah:
1.
Djoendab, umur 16 tahun,
putera Hadji Moechtar, Yogyakarta.
2.
Muhammad Sabitoen, umur
25 tahun, putera Hadji Wahab.
3.
Djoemhan, umur 17 tahun,
putera Hadji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
4.
Maksoem, umur 17 tahun,
putera Hadji Hamid.[30]
Kemajuan
Ahmadiyah juga mendapatkan perhatian besar dari kantor-kantor pemerintah
Belanda di Jawa. Pada awalnya mereka mengira bahwa Ahmadiyah hanya akan
menambah jumlah kelompok-kelompok Islam. Namun, akhirnya mereka memberikan
sikap mendukung terhadap Ahmadiyah, karena dinilai sangat liberal dan mampu
menyesuaikan diri, demikian yang diungkapakan oleh Residen Belanda di
Yogyakarta, yang bernama Dingemans.
Pada tahun
1926, hubungan Ahmadiyah dengan Muhammadiyah mulai renggang, setelah mereka
mengetahui adanya penyimpangan terhadap sunnah, yang terdapat pada
doktrin-doktrin yang dibawa oleh Ahmadiyah Lahore. Sumber lain mengatakan bahwa
perubahan sikap tersebut terjadi ketika pada tahun 1927, seorang ulama dari
India yang sebenarnya belum jelas asal-usulnya maupun karya-karyanya, yaitu
Abdul Alim al-Siddiqi, datang untuk bertemu tokoh-tokoh Islam, dan ketika
memberi pengajian umum, ia secara gamblang menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan Ahmadiyah. Dan hal inilah yang membuat tokoh-tokoh
Muhammadiyah berbalik membenci Ahmadiyah. Akhirnya mereka mengundang Wali Ahmad
Baig untuk membicarakan masalah ini, dan setelah itu Wali Ahmad Baig pindah ke
Purwokerto.
Beralih kepada
Ahmadiyah Qadian yang masuk ke Indonesia pada tahun 1925, setahun setelah
kedatangan Ahmadiyah Lahore. Kedatangan mereka sebanarnya diawali oleh
keberangkatan dua orang pemuda Indonesia ke Hindustan untuk belajar ilmu agama
Islam, yaitu Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin, yang merupakan lulusan dari
perguruan Sumatra Thawalib yang dipimpin oleh Dr. H. Karim Amrullah di Padang
Panjang. Pada tahun 1922, mereka meninggalkan Sumatra melalui Medan ke India
denga tujuan daerah Lukcnow untuk mencari ulama. Namun setelah belajar sekitar
dua setengah bulan, mereka meninggalkan kota itu menuju ke Lahore, dan
berkenalan dengan Ahmadiyah. Di sana mereka dididik oleh Maulana Abdus Sattar,
namun tidak memperoleh kepuasan. Pada akhir tahun 1923, setelah enam bulan
menetap di Lahore, mereka menuju Qadian, dan menemui Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad, putera Mirza Gulam Ahmad yang merupakan khalifah II, untuk belajar
agama. Dan mereka diperbolehkan masuk madrasah Ahamadiyah setelah belajar
bahasa Urdu selama enam bulan. Lalu setelah masuk sekolah, mereka masuk Jami’ah
Ahmadiyah, dan akhirnya melakukan baiat di tangan Khalifah II. Pada tahun 1926,
tercatatlah beberapa orang lagi dari beberapa kota di Sumatera, antara lain
Padang, Padang Panjang, Batu Sangkar, dan Tapaktuan, Aceh, yang belajar ke sekolah Ahmadiyah.
Pada tahun
1924, Khalifah II diundang oleh para pelajar Indonesia yang saat itu berjumlah
19 orang, untuk menghadiri acara jamuan teh bersama para tokoh Jema’at. Dalam
jamuan tersebut para pelajar Indonesia meminta Khalifah II agar dapat
berkunjung ke Indonesia. Dan khalifah pun menunjuk Rahmat Ali yang merupakan
guru Ta’limul Islam High School di Qadian, untuk dikirim sebagai muballig untuk
Sumatra dan Jawa.
Ia
meninggalkan Qadian pada bulan Juni 1925 melalui Penang, Medan, dan Sabang-kota
pelabuhan di ujung utara Sumatra yang terletak di Pulau Weh. Akhirnya ia tiba
di Kotaraja, Banda Aceh, setelah di Sabang mendapat kesulitan dari penguasa
setempat. Dan pada tanggal 2 Oktober 1925 ia tiba di Tapaktuan dan tinggal di
rumah Muhammad Samin yang pernah belajar di Qadian. Ia mulai melakukan tablig
memakai pakaian yang sama seperti kebiasaannya di Qadian, sehingga menarik
perhatian masyarakat. Dalam waktu singkat beberapa orang mengaku secara
terang-terangan mengikuti Ahmadiyah pada akhir bulan Desember 1925. Dengan
demikian terbentukalah Jema’at Ahmadiyah di Tapaktuan.
Kemudian
Rahmat Ali melanjutkan melakukan tablig ke kota Padang dan tinggal di rumah Daud Bangso Dirajo di
Pasarmiskin. Tablig yang ia lakukan membuat resah warga Padang, bahkan sampai
ke daerah-daerah seperti Padang Panjang, dan Bukittinggi. Akhirnya terbentuk
Komite Mencari Hak yang dipimpin oleh Tahar Sutan Tarajo guna memperemukan
ulama Minangkabau dengan mubalig Ahamadiyah, namun hal ini tidak
terealisasikan, karena ulama hanya mengirimkan murid-muridnya untuk datang
menemui mubalig Ahmadiyah. Pada tahun yang sama, ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim
Amrullah mengecam keras paham Ahmadiyah dan menegaskan kekafiran kaum Ahmadiyah
yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul al-Qaul al-Sahih. Namun hal ini
tidak menghambat perkembangan Ahmadiyah di Padang.
Dengan
demikian, Rahmat Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia
yang dalam perkembangannya menjadi sebuah organisasi dengan nama Jema’at
Ahmadiyah Indonesia. Setelah peristiwa berdirinya Ahmadiyah tahun 1929.
Perbedaan
antara respon masyarakat pada awal kedatangan Ahmadiyah baik Qadian maupun
Lahore sangatlah berbeda, Ahmadiyah Qadian di Sumatra langsung mendapatkan
tantangan keras karena Ahmadiyah secara terang-terangan menunjukkan ajarannya
dan siap melakukan perdebatan, sedangkan Ahmadiyah Lahore di Yogyakarta, pada
awalnya tidak menunjukkan secara jelas identitas yang terkandung dalam ajaran
mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam yang telah disepakati, sekalipun
ajarannya tidak sekontroversial Ahmadiyah Qadian. Namun, terlepas dari itu semua,
mereka dapat diterima secara baik, terutama oleh kaum muda karena tawaran
kajian Islam yang lebih modern dan liberal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ahmadiyah lahir di India
pada akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat Islam India di bidang agama,
politik, sosial, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya, yang merupakan dampak
dari kemunduran kerajaan Mughal yang berkuasa di India (1526-1858) pada akhir
abad ke-18.
Ahmadiyah adalah sebuah
gerakan atau wadah yang didirikan oleh Mirza Gulam Ahmad dengan dasar petunjuk
Ilahi yang bertujuan untuk menyebarkan dan menegakkan syariat Islam, yang telah
dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Ahmadiyah terpecah
menjadi dua golongan setelah meninggalnya Mirza Gulam Ahmad, yakni Ahmadiyah
Lahore dan Ahmadiyah Qadian.
Di antara doktrin-doktrin
Ahmadiyah yang kontroversial adalah masalah Mirza Gulam Ahmad diyakini sebagai
al-Masih dan al-Mahdi, status kenabian Mirza Gulam Ahmad, dan masalah
keberadaan wahyu yang diturunkan kepada Mirza Gulam Ahmad.
B.
Saran
Pemerintah harus
mengambil tindakan tegas terhadap persoalan yang menyangkut Ahmadiyah.
Umat Islam jangan sampai
terprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan dan main hakim sendiri terhadap
jemaah Ahmadiyah.
Wacana yang mengusulkan
agar Ahmadiyah membentuk sebuah agama baru yang berdiri sendiri, perlu
dipertimbangkan dan dengan matang.Aqidah yang benar harus ditanamkan sejak
kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Barsihannor, Haruskah Membenci Ahmadiyah. Cet.
I; Yogyakarta: Kota Kembang, 2009.
Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya
Special for Woman. Bandung: Syamil Cipta Media, 2005.
al-Mauru di, Abu al-A’la. Ma Hiya al-Qadiyaniyyah. Kuwait: Dar al-Qalam,
1969.
al-Ni>sabu>ri>, Muslim bin
al-H}ajjaj> Abu> al-H}usain al-Qusyairi>. S}ah}i>h Muslim, juz
I. Beirut: Da>r Ihya>i
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
Yogaswara, A. Heboh Ahmadiyah: Mengapa
Ahmadiyah Tidak langsung Dibubarkan?
Cet. I; Yogyakarta: Narasi, 2008.
Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di
Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005.
[1] Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiyah Tidak langsung Dibubarkan? (Cet. I; Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 67-76
dan 94-98.
[13] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Nisaburi, Sahih Muslim,
Juz I (Beirut: Dar Ihyai al-Turas\ al-‘Arabi, t.th.), h. 135.
[14] Departemen Agama RI,
al-Quran dan Terjemahnya Special for Woman (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005),
h. 127.

0 Comments: