Perancis Keluarkan Aturan "Piagam Nilai-nilai Republik" kepada Para Imam
PARIS, Santri Semesta - Presiden Perancis Emmanuel Macron
telah meminta para imam di Perancis untuk menerima " piagam nilai-nilai
republik" sebagai bagian dari tindakan keras melawan ekstremisme Islam.
Pada Rabu (18/11/2020), Macron memberikan ultimatum 15 hari
kepada Dewan Kepercayaan Muslim Perancis (CFCM) untuk menerima piagam tersebut
dengan aturannya.
Melansir BBC pada Jumat (20/11/2020), CFCM telah setuju
untuk membentuk Dewan Imam Nasional, yang dilaporkan akan mengeluarkan
akreditasi resmi kepada para imam yang dapat ditarik kembali.
Langkah sejauh itu dilakukan setelah terjadi 3 serangan di
Perancis yang diduga didasari karena ekstremisme Islam dalam waktu kurang dari
sebulan.
Piagam itu akan menyatakan bahwa Islam adalah agama dan
bukan gerakan politik, yang juga melarang "campur tangan asing" dalam
kelompok Muslim.
Macron sangat membela sekularisme Perancis setelah serangan
itu, termasuk kejadian pemenggalan kepala seorang guru yang menunjukkan kartun
Nabi Muhammad selama diskusi kelas pada Oktober.
Pada Rabu larut malam, presiden dan menteri dalam negeri,
Gérald Darmanin, bertemu dengan 8 pemimpin CFCM di istana Élysée.
"Dua prinsip akan tertulis dalam hitam di atas putih
(dalam piagam), yaitu penolakan politik Islam dan campur tangan asing,"
kata suatu sumber kepada surat kabar Le Parisien setelah pertemuan berlangsung.
Pembentukan Dewan Imam Nasional juga disepakati.
Macron juga telah mengumumkan langkah-langkah baru untuk
mengatasi apa yang disebutnya "separatisme Islam" di Perancis.
Langkah-langkah tersebut termasuk RUU yang luas yang
berusaha untuk mencegah ekstremisme. Itu diresmikan pada Rabu, termasuk
langkah-langkah lainnya, seperti:
Pertama, pembatasan home-schooling dan hukuman yang lebih
keras bagi mereka yang mengintimidasi pejabat publik atas dasar agama.
Kedua, memberi anak nomor identifikasi berdasarkan
undang-undang yang akan digunakan untuk memastikan mereka bersekolah. Orang tua
yang melanggar hukum bisa menghadapi hukuman 6 bulan penjara serta denda besar.
Ketiga, larangan berbagi informasi pribadi seseorang dengan
cara yang memungkinkan mereka ditemukan oleh orang-orang yang ingin
menyakitinya.
"Kita harus menyelamatkan anak-anak kita," kata
Darmanin kepada surat kabar Le Figaro pada Rabu. Rancangan undang-undang
tersebut akan dibahas oleh kabinet Perancis pada 9 Desember.
Samuel Paty, guru yang terbunuh di luar sekolahnya Oktober
lalu, menjadi sasaran kampanye kebencian online sebelum kematiannya pada 16
Oktober.
Surat kabar Le Monde telah menerbitkan email yang dikirim
antara Paty dan rekannya beberapa hari setelah dia menunjukkan kartun di kelas.
"Ini benar-benar menyedihkan dan terutama karena itu
berasal dari keluarga yang anaknya tidak ada dalam pelajaran saya dan bukan
seseorang yang saya kenal," tulis Paty.
"Ini menjadi
rumor yang berbahaya," lanjutnya.
Dia kemudian menulis dalam email terpisah, "Saya tidak
akan mengajar lagi tentang topik ini, saya akan memilih kebebasan lain sebagai
subjek untuk mengajar."
Awal tahun ini, Macron menggambarkan Islam sebagai agama
"dalam krisis" dan membela hak majalah untuk menerbitkan kartun yang
menggambarkan Nabi Muhammad.
Penggambaran seperti itu secara luas dianggap tabu dalam
Islam dan dianggap sangat ofensif oleh banyak Muslim.
Menyusul komentar tersebut, pemimpin Perancis itu menjadi
sosok yang dibenci di beberapa negara mayoritas Muslim.
Para pengunjuk rasa juga menyerukan boikot produk Perancis.
Di Perancis, sekularisme negara (laïcité) merupakan pusat identitas nasional.
Kebebasan berekspresi di sekolah dan ruang publik lainnya
adalah bagian dari itu, dan mengekangnya untuk melindungi perasaan agama
tertentu dipandang merusak persatuan nasional.
Sementara, Perancis memiliki populasi Muslim terbesar di
Eropa Barat.
Ditulis Oleh : Fais


0 Comments: