Hadhratus Syaikh
KH. M. Hasyim Asy’ari terlahir pada Selasa Kliwon 24 Dzul Qa’dah 1287 H (14
Februari 1871 M) di Pesantren Gedang Tambakrejo Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan
putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Dalam buku ‘Profil
Pesantren Tebuireng’ dan NU-Online, tertulis bahwa tanggal 3 Ramadhan 1366 H
(21 Juli 1947 M) jam 9 malam Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selesai
mengimami shalat Tarawih. Sebagaimana biasanya beliau duduk di kursi untuk
memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian datanglah tamu
utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. Mbah Hasyim menemui utusan tersebut
dengan didampingi Kyai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.
Sang tamu
menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi 3 pesan pokok. Kepada
utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut Kyai Hasyim meminta waktu semalam
untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
1) Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun.
2) Hadhratus Syaikh dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3) Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kyai Hasyim.
1) Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun.
2) Hadhratus Syaikh dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3) Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kyai Hasyim.
Keesokan harinya
Mbah Hasyim memberikan jawaban bahwa beliau tidak berkenan menerima tawaran
yang disampaikan. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M,
sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo.
Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada
Hadhratus Syaikh Kyai Hasyim. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kyai
Hasyim mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat Islam Indonesia.
Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak
anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadhratus Syaikh
kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.
Tidak lama
berselang, Mbah Hasyim mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan
Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari
Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah
jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban
rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu Mbah Hasyim berujar: “Masya
Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya, tapi hal ini ditafsirkan oleh
Kyai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.
Akhirnya para tamu
pun pamit keluar, tetapi Mbah Hasyim tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kyai
Ghufron mendekat ke Mbah Hasyim, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan
tempat. Tak lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa Mbah Hasyim tidak
sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Mbah Hasyim.
Kala itu
putra-putri Mbah Hasyim sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama
kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak
sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas
tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni
dr. Angka Nitisastro.
Setelah diperiksa,
barulah diketahui bahwa Mbah Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding)
yang sangat serius. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya,
namun Tuhan berkehendak lain. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari akhirnya
wafat pada waktu sahur (pukul 03.00 dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25
Juli 1947).
Atas
jasa-jasa beliau selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947),
terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting, yakni:1. Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.
2. Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.
3. Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah Belanda.
Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.

0 Comments: